Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjamin keterlibatan aktif perempuan dalam
pembangunan desa. Proses pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan menjadi ruang strategis bagi perempuan untuk terlibat. Sehingga
kebijakan pembangunan desa mempunyai visi keadilan gender dan inklusif.
Arrum
Widyatasari dari Lingkar Pembaharuan Desa dan Agraria (KARSA) mengungkapkan
pentingnya pengetahuan tentang pasal-pasal dalam UU Desa yang membuka partisipasipun,
penting bagi perempuan untuk membacai UU Desa sebagai dasar pengetahuan.
“Pada pasal 3 UU Desa menyebutkan asas
partisipasi dan kesetaraan,” ujar Arrum
Partisipasi
tidak hanya dimaknai sebagai bentuk kehadiran fisik tetapi sebagai usaha-usaha
untuk memengaruhi perencanaan, kebijakan dan penganggaran. Sehingga, selain
pengetahuan tentang UU Desa, keterampilan berbicara dan lobi penting untuk
dikuasai. Supaya suara atau usulannya bisa didengar dan diterima.
Sekolah
Perempuan dirancang sebagai ruang pembelajaran bagi perempuan untuk
implementasi UU Desa, berjudul “Kepemimpinan Perempuan dan Reformasi
Pemerintahan Desa”. Materi pembelajaran dalam Sekolah Perempuan meliputi
pengetahuan tentang gender, perempuan dan pembangunan desa, pemetaan sosial, potensi
dan aset desa, serta pemberdayaan ekonomi perempuan.
Untuk
pemetaan sosial tantangannya adalah merancang perangkat dan metode pengumpulan
data yang berperspektif gender. Sehingga, data yang diperoleh dapat sesuai
dengan kondisi warga. Selain itu, data yang diperoleh mempunyai pengaruh pada
perencanaan, pelaksanaan, dan alokasi pendanaan pembangunan desa yang inklusif.
Belajar dari pengalaman
Lian
Gogali dari Institut Mosintuwu Poso mengisahkan bagaimana cara sekolah
perempuan di Poso belajar dari pengalaman. Misalnya, dalam memahami UU Desa,
para perempuan menuliskan sendiri bagaimana pengalaman mereka dalam musyawarah
desa.
“Misalnya,
apakah dalam musyawarah desa, apakah perempuan turut diundang? Kalau tidak
siapa saja yang diundang? Kalau diundang apakah mereka turut berbicara dan
usulannya diterima? Setelah itu baru melihat apakah kondisi mereka sesuai
dengan UU Desa atau tidak,” terang Lian.
Teknik
pembelajaran berbasis pengalaman juga membantu para perempuan untuk memahami
materi. Bukan menggunakan istilah-istilah teoritik yang susah dimengerti,
melainkan dengan berbagai media seperti
cerita dan bermain. Dengan demikian, pengetahuan lebih cepat dipahami karena
sesuai dengan kondisi yang dihadapi sehari-hari.
Hal
senada juga disampaikan oleh Mukhtib MD. Menurutnya metode pembelajaran dapat
dimulai dengan contoh pengalaman sehari-hari. Pilihan ini layaknya metode
berpikir induktif, dari contoh-contoh kecil kemudian beralih ke konsep yang
lebih besar. Cara yang dilakukan bisa beragam, seperti studi kasus, permainan,
sandiwara, dan pengalaman individu.
“Belajar dari
pengalaman menjadi basis pendidikan kritis,” tegas Mukhotib.