Kedudukan (posisi)
desa dalam bangunan besar tatanegara Indonesia, sekaligus relasi antara negara,
desa dan warga merupakan jantung persoalan UU Desa. Jika regulasi sebelumnya
menempatkan desa sebagai pemerintahan semu bagian dari rezim pemerintahan
daerah, dengan asas desentralisasi-residualitas, maka UU Desa menempatkan desa
dengan asas rekognisi-subsidiaritas.
Rekognisi memang
tidak lazim dibicarakan dalam semesta teori hubungan pusat dan daerah; ia lebih
dikenal dalam pembicaraan tentang multikulturalisme. Dalam masyarakat
multikultur, senantiasa menghadirkan perbedaan dan keragaman identitas baik
suku, agama, warna kulit, seks dan
lain-lain. Bahkan juga menghadirkan pemilahan antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas sering menghadapi eksklusi secara sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kaum minoritas merasa menjadi warga negara kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan kaum mayoritas. Karena menghadapi eksklusi, kelompok atau komunitas yang berbeda maupun kaum minoritas memperjuangkan klaim atas identitas, sumberdaya, legitimasi dan hak. Tindakan negara menghadapi klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam pembicaraan tentang rekognisi.
lain-lain. Bahkan juga menghadirkan pemilahan antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas sering menghadapi eksklusi secara sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kaum minoritas merasa menjadi warga negara kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan kaum mayoritas. Karena menghadapi eksklusi, kelompok atau komunitas yang berbeda maupun kaum minoritas memperjuangkan klaim atas identitas, sumberdaya, legitimasi dan hak. Tindakan negara menghadapi klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam pembicaraan tentang rekognisi.
Meskipun rekognisi
lahir dari konteks multikulturalisme, tetapi ia terkait dengan keadilan,
kewargaan dan kebangsaan; bahkan mempunyai relevansi dengan desentralisasi.
Pada titik dasar, rekognisi terletak pada jantung kontestasi ganda di seputar
kewargaan, hak, politik identitas, klaim redistribusi material dan tuntutan
akan kerugian masa silam yang harus diakui dan ditebus (Janice McLaughlin,
Peter Phillimore dan Diane Richardson, 2011). Kontestasi klaim inilah yang
menjadi salah satu alasan lahirnya konsep desentralisasi asimetris di banyak
negara, termasuk Indonesia, yang melahirkan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua
serta keistimewaan bagi Yogyakarta. Dengan kalimat lain, desentralisasi
asimetris untuk tiga daerah itu, yang berbeda dengan daerah-daerah lain, karena
dilandasi oleh rekognisi terhadap perbedaan dan keragaman.
Dalam konteks
multikultural itu, beragam pengertian rekognisi hadir. Charles Taylor (1992),
misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian: “politik universalisme”,
yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau komunitas dengan cara
menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni proteksi terhadap
identitas individu, kelompok atau komunitas dengan cara menghormati dan
membolehkan mereka melindungi budayanya. Axel Honneth (1996) secara sederhana memahami
rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan status dan
posisi; (b) menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya adalah untuk
mencapai keadilan sosial. Bagi Honneth, keadilan sosial harus memasukkan
provisi ruang bebas bagi setiap individu hadir dalam ruang publik tanpa rasa
malu. Lebih radikal lagi, Nancy Fraser (1996) melihat rekognisi dalam konteks
perjuangan politik untuk melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi bukan sekadar
memberikan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap identitas kultural
yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi
Fraser, rekognisi harus disertai dengan redistribusi. Rekognisi kultural semata
hanya mengabaikan redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat ketidakadilan sosial
dan perjuangan politik. Karena itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan
budaya (cultural justice), dan redistribusi untuk menjamin keadilan ekonomi
(economic justice).
Dalam belantara
teori dan praktik rekognisi, desa dan desa adat, hampir tidak dikenal.
Rekognisi umumnya mengarah pada daerah-daerah khusus (seperti Quebec di Canada
maupun Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara di Inggris Raya), masyarakat adat
(indigenous people), kelompok-kelompok minoritas, Afro Amerika, gender,
kelompok-kelompok budaya atau identitas tertentu yang berbeda, dan sebagainya.
Namun dalam konteks Indonesia, desa atau yang disebut dengan nama lain, sangat
relevan bagi rekognisi. Pertama, desa atau yang disebut dengan nama lain,
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat merupakan entitas yang berbeda dengan
kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah. Kedua, desa atau yang disebut
dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI lahir pada tahun
1945, yang sudah memiliki susunan asli maupun membawa hak asal-usul. Ketiga,
desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang
tidak serta merta bisa diseragamkan. Keempat, dalam lintasan sejarah yang
panjang, desa secara struktural menjadi arena eksploitasi terhadap tanah dan
penduduk, sekaligus diperlakukan secara tidak adil mulai dari kerajaan,
pemerintah kolonial, hingga NKRI. Kelima, konstitusi telah memberikan amanat
kepada negara untuk mengakui dan menghormati desa atau yang disebut dengan nama
lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.