Desa
Parokhial dan Desa Korporatis- Tulisan ini saya kutip dari B7 halaman 16-17.
bukan bermaksud menciplak atau mengambil untuk keuntungan pribadi, saya hanya
bermaksud membagikan untuk diakses masyarakat luas.
Desa Parokhial dan Desa Korporatis- Desa
selama ini menjadi arena kontestasi pengaruh antara adat, pemerintah, jaringan
kekerabatan, agama dan organisasi masyarakat sipil. Berbagai pengaruh ini
membentuk karakter politik desa. Jika pengaruh adat paling kuat maka akan
membentuk
. Pengaruh kekerabatan dan agama yang jauh lebih menonjol akan membentuk desa parokhial. Pengaruh pemerintah yang sangat kuat membentuk desa korporatis, dan pengaruh organisasi masyarakat sipil membentuk desa inklusif atau desa sipil.
. Pengaruh kekerabatan dan agama yang jauh lebih menonjol akan membentuk desa parokhial. Pengaruh pemerintah yang sangat kuat membentuk desa korporatis, dan pengaruh organisasi masyarakat sipil membentuk desa inklusif atau desa sipil.
Secara hitoris semua desa, atau sebuatan
lain, pada dasarnya merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, baik berbentuk
genealogis, teritorial maupun campuran keduanya. Desa asli (indigenous village)
sebagai desa warisan masa lampau ini masih tetap bertahan di sejumlah daerah
(Papua, Maluku, sebagian Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Bali, sebagian
Aceh, Nias, Mentawai, Badui, Anak Dalam dan sebagainya). Pengaruh adat jauh
lebih kuat ketimbang pengaruh modernisasi, pemerintah, agama dan juga
organisasi masyarakay sipil. Desa-desa ini mempertahankan susunan asli dan
pranata lokal untuk mengelola pemerintahan dan sumberdaya lokal. Bahkan desa
asli sering mempertahankan institusi lokal mereka dari intervensi negara.
Mereka mengabaikan (emoh) negara.
Para pemimpin adat mempunyai kekuasaan yang
dominan, mulai dari dominan dalam penguasaan sumber-sumber agraria hingga
menentukan siapa yang menjadi kepala desa, sehingga kepala desa harus tunduk
kepada pemimpin adat. Desa adat tidak mengenal konsep warga (individu yang
ditempatkan sebagai pribadi secara utuh, yang mempunyai hak dan kewajiban
secara setara), tetapi lebih mengutamakan kebaikan bersama dengan basis
komunitas (community). Kearifan lokal desa adat mengutamakan keseimbangan
(hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan
Tuhan), kecukupan dan keberlanjutan. Pada umumnya desa-desa adat mengelola SDA
secara komunal yang mampu menghasilkan kemakmuran bersama, sehingga bisa
disebut sebagai welfare community. Tetapi kalau dilihat dengan ukuran-ukuran
kekinian, desa adat tidak hadir sebagai institusi yang memberikan delivery
public goods (seperti kesehatan dan pendidikan).
Desa asli genealogis yang dibentuk oleh
kombinasi antara adat dan struktur kekerabatan secara homogen cenderung awet
dan harmonis meskipun sangat eksklusif (cenderung berorientasi ke dalam dan
mengabaikan orang lain yang berbeda). Masalah baru kemudian muncul kearifan
lokal semakin memudar, sementara pengaruh negara tidak berdampak signifikan.
Pengaruh kearifan lokal dan pengaruh negara lebih kecil ketimbang pengaruh
kekerabatan dan keagamaan. Pengaruh agama dan/atau pengaruh kekerabatan membuat
desa-desa asli berubah menjadi desa parokhial: ada yang parokhialisme
kekerabatan dan ada yang parokhialisme kegamaan. Karakter parokhial kekerabatan
memang merupakan warisan sejarah masa lalu, dimana ikatan-ikatan kekerabatan
menjadi social bonding bagi masyarakat, atau yang sering disebut dengan desa
genealogis. Pemilihan kepala desa secara langsung selalu menjadi arena kontestasi
politik antar kerabat (klan), dan kepala desa yang berkuasa selalu membangun
emporium kecil yang dilingkari oleh jaringan kekerabatan. Kepala desa sangat
dominan menentukan orang-orang yang duduk di BPD dan lembaga-lembaga lain yang
berasal dari kerabatnya. Mereka juga mempunyai keyakinan bahwa “aliran
sumberdaya mengikuti aliran darah”, karena itu kepala desa mendistribusikan
bantuan uang dari pemerintah hanya kepada lingkaran kerabatnya. Hubungan antara
kepala desa dan BPD tidak bersifat konfliktual, dan tidak ada juga mekanisme
check and balances, melainkan terjadi hubungan kolutif dua institusi
pemerintahan desa itu.
Jika pengaruh agama lebih kuat daripada
pengaruh kekerabatan, desa akan tumbuh menjadi desa parokial berbasis agama.
Desa seperti ini merupakan desa religius, yang lebih mengutamakan ketuhanan,
keimanan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan ketimbang kegiatan publik. Banyak
kelompok kegamaan yang hadir dalam desa ini. Umat desa ini lebih banyak
membicarakan Tuhan, agama dan surga di akherat ketimbang membicarakan
masalah-masalah kesehatan, pendidikan, dan neraka di dunia. Ukuran keberhasilan
Pembangunan Desa parokhial berbasis agama adalah keberadaan rumah-rumah ibadah,
banyaknya ritual-ritual keagamaan, rendahnya kemaksiatan.
Desa parokhial yang bercorak kekerabatan
mengusung semangat “aliran sumberdaya mengikuti aliran darah”, sehingga setiap
alokasi sumberdaya selalu menjadi arena pertarungan antarkeluarga. Struktur
politik desa didominasi oleh kartel elite berbasis kekerabatan. Akibatnya warga
yang tidak masuk dalam jaringan politik kekerabatan itu akan selalu marginal,
tidak memperolah akses ekonomi politik dengan baik. Sedangkan desa parokhial
keagamaanmenghasilkan desa religius. Desa semacam ini selalu membicarakan dan
mengutamakan Tuhan, akherat dan sederet kegiatan keagamaan ketimbang
memperhatikan isu-isu publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan
kemiskinan. Jika desa korporatis memperlihatkan cerita sukses pembangunan
dengan infrastruktur fisik, sementara para pemimpin dan umat di desa parokhial
religius menjadikan tempat ibadah yang besar dan bagus sebagai ukuran
keberhasilan yang paling utama, meskipun bersandingan dengan infrastruktur dan
pelayanan publik yang buruk.
Selama ini ada dua kutub spektrum peran
negara terhadap desa, yakni kutub dominasi (intervensi) dan kutub isolasi. Di
satu sisi negara melakukan intervensi (dominasi) yang kuat terhadap desa,
seraya melemahkan pengaruh lokal terhadap tatakuasa desa, sehingga menghasilkan
desa korporatis yang seragam di seluruh Indonesia (lihat bagan 1). Negara
memperlakukan desa hanya sebagai kepanjangan tangan dalam membentuk “negara
administratif”, sekaligus menjadikan desa beserta masyarakat hanya sebagai
obyek penerima bantuan. Karena itu desa serta masyarakat tidak tumbuh secara
emansipatoris sebagai subyek pemberi manfaat kepada warga secara mandiri.
Sebaliknya, di sisi lain, negara cenderung
melakukan isolasi atau membiarkan terhadap desa asli dan desa parokhial. Desa
asli sering mempertahankan institusi lokal mereka dari intervensi negara.
Mereka mengabaikan (emoh) negara. Sikap ini memang mengandung kemandirian,
tetapi tidak jarang adat-istiadat lokal yang tidak mengadaptasi nilai dan isu
kehidupan publik (seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kemiskinan dan sebagainya),
dan justru melemahkan warga, terutama kaum perempuan.
Desa korporatis merupakan karakter paling
menonjol pada sebagian besar desa di Indonesia karena intervensi pemerintah
secara seragam melalui UU No. 5/1979. Desa korporatis tampil sebagai kepanjangan
tangan pemerintah yang menjalankan aturan dan petunjuk dari atas. Dalam desa
korporatis terdapat alat-alat kelengkapan pemerintahan dan lembaga
kemasyarakatan yang lengkap seperti BPD, PKK, LPMD, RT, Karang Taruna, dan
lembaga-lembaga lainnya.
Model korporatis sebenarnya merupakan
adaptasi secara seragam dari model desa-desa di Jawa. Meskipun pemerintah
berhasil mengubah susunan asli menjadi susunan korporatis, tetapi secara
substansial banyak desa di Luar Jawa mengalami kesulitan melakukan adaptasi
model dan sistem desa ala Jawa itu. Umumnya desa-desa korporatis belum tumbuh
menjadi institusi publik secara sempurna yang mampu memberikan pelayanan publik
dasar (seperti kesehatan dan pendidikan), melainkan hanya memberikan pelayanan
administratif kepada warga. Dengan kalimat lain, desa korporatis lebih
mengutamakan pelayanan civic service ketimbang civil service. Kepala desa tidak
bertindak sebagai pemimpin lokal yang mampu menggerakkan emansipasi lokal,
melainkan hanya menjadi aparatur negara yang membantu tugas-tugas negara
seperti pelayanan administratif, penarikan pajak, pengumpulan data, dan
penyaluran bantuan pemerintah kepada warga.
Karakter politik desa itu menghasilkan
kemanfaatan dan kemandirian yang berbeda-beda. Desa asli secara mandiri
memberikan kemanfaatan secara ekonomi lebih besar, tetapi tidak memberikan
manfaat dalam bentuk pelayanan dasar. Dengan kalimat lain, desa asli mempunyai
emansipasi lokal dalam membangun kemakmuran ekonomi bagi masyarakat setempat.
Desa parokhial tidak cukup signifikan memberikan manfaat terhadap kemakmuran
ekonomi dan pelayanan dasar. Desa korporatis lebih banyak tergantung pada
pemerintah, ketimbang menggerakkan emansipasi lokal. Desa ini lemah dalam
delivery public goods dan empowering common properties and local assets. Desa
lebih mengutamakan pelayanan administratif (civic service) ketimbang pelayanan
kepada warga (civil service). Jika di desa terdapat layanan dasar, tetapi hal
itu bukanlah emansipasi desa, melainkan layanan yang diberikan dari atas. Sedangkan
desa sipil akan menunjukkan emansipasi yang secara mandiri memberikan manfaat
dalam bentuk pelayanan dasar dan pengembangan ekonomi lokal.