Lahirnya UU. Nomor
6 Tahun 2014 Tentang Desa, memaksa berbagai elemen untuk ganti kulit dan
kebiasaan lama. Terkhusus Lembaga Negara yang selama ini banyak aktif dan
terlibat secara langsung dalam mempengaruhi kebijakan ditingkat desa. UU.Desa
lahir dengan berbagai macam regulasi baru yang sejalan dengan program Bapak
Presiden "Revolusi Mental". UU.Desa tidak akan pernah menunjukkan
taringnya jika paradigma lama dalam melihat desa masih senantiasa memengaruhi pikiran-pikiran
para birokrat yang selama ini melingkari institusi negara.
Negara menghadapi
dilema dalam memperlakukan desa. Di satu sisi negara-bangsa modern Indonesia
berupaya melakukan modernisasi-integrasi-korporatisasi terhadap entitas lokal
ke dalam kontrol negara. Negara menerapkan hukum positif untuk mengatur setiap
individu dan wilayah, sekaligus memaksa hukum adat lokal tunduk kepadanya. Di
sisi lain konstitusi, UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, juga mengharuskan negara
melakukan rekognisi (pengakuan dan penghormatan) terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat (desa, gampong, nagari, kampung, negeri dan lain-lain) beserta
hak-hak tradisionalnya.
Sejak Orde Baru
negara memilih cara modernisasi-integrasi-korporatisasi ketimbang rekognisi
(pengakuan dan penghormatan). UU No. 5/1979, UU No. 22/1999 maupun UU No.
32/2004 sama sekali tidak menguraikan dan menegaskan asas pengakuan dan
penghormatan terhadap desa atau yang disebut nama lain, kecuali hanya mengakui
daerah-daerah khusus dan istimewa. Banyak pihak mengatakan bahwa desentralisasi
hanya berhenti di kabupaten/kota, dan kemudian desa merupakan residu
kabupaten/kota. Pasal 200 ayat (1) UU No. 32/2004 menegaskan: “Dalam
pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari
pemerintah desa dan badan permusyawatan desa”.
Ini berarti bahwa desa hanya direduksi menjadi pemerintahan semata, dan
desa berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota. Bupati/walikota mempunyai
cek kosong untuk mengatur dan mengurus desa secara luas. Pengaturan mengenai
penyerahan sebagian urusan kabupaten/kota ke desa, secara jelas menerapkan asas
residualitas, selain tidak dibenarkan oleh teori desentralisasi dan hukum tata
negara.
Melalui regulasi
itu pemerintah selama ini menciptakan desa sebagai pemerintahan semu (pseudo
government). Posisi desa tidak jelas, apakah sebagai pemerintah atau sebagai
komunitas. Kepala desa memang memperoleh mandat dari rakyat desa, dan desa
memang memiliki pemerintahan, tetapi bukan pemerintahan yang paling bawah,
paling depan dan paling dekat dengan masyarakat. Pemerintah desa adalah
organisasi korporatis yang menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah, mulai
dari tugas-tugas administratif hingga pendataan dan pembagian beras miskin
kepada warga masyarakat. Dengan kalimat lain, desa memiliki banyak kewajiban
ketimbang kewenangan, atau desa lebih banyak menjalankan tugas-tugas dari atas
ketimbang menjalankan mandat dari rakyat desa. Karena itu pemerintah desa dan
masyarakat desa bukanlah entitas yang menyatu secara kolektif seperti kesatuan
masyarakat hukum, tetapi sebagai dua aktor yang saling berhadap-hadapan.
Birokratisasi
merupakan bentuk kontrol birokrasi terhadap desa dengan perangkat pengaturan,
pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis secara detail dan ketat (rigid)
sehingga malah menghilangkan makna dan tujuan besarnya. Pendekatan ini ditempuh
karena selain karakter birokrasi yang memiliki governmentality (hasrat untuk
mengatur), juga didasari oleh argumen bahwa desa tidak mampu dan tidak siap. Ada sejumlah bentuk birokratisasi yang masuk
ke desa: mengangkat sekdes menjadi PNS; memberikan tugas-tugas administratif
yang begitu banyak kepada desa sampai pada RT; mereduksi makna tanggungjawab
kepala desa kepada rakyat menjadi laporan pertanggungjawaban kepala desa kepada
bupati melalui camat;
Hal ini, menjadi
tugas bersama yang harus dilihat secara menyeluruh oleh pemerhati desa. Selama
ini, program pembangunan dan regulasi untuk membangun desa masih berjalan
tertatih dan seolah setengah hati. Betapa tidak, desa sebagai entitas masih
dianggap sebagai pelengkap negara saja yang hanya akan dikenali oleh
penguasa(baca: Pemerintah) saat ada semacam pesta demokrasi lima tahunan yang
kini sudah berubah menjadi demokrasi enam tahunan sejak UU.No.6 diberlakukan
oleh negara.
No.6 Tahun 2014,
seolah menjadi angin segar bagi desa untuk menentukan jenis programnya sendiri
yang berangkat secara partisipatif oleh pemerintah dan warga desanya.
Problematika Desa lama dalam gambaran Birokratisasi desa yang diuraikan diatas,
menjadi harapan UU.No.6 Tahun 2014 lahirnya desa baru dengan regulasi yang pas
untuk membangun desa. Mungkinkah harapan lahirnya desa baru bisa terwujud?
Tunggu dan mari kita lihat Implementasi UU.No.6 Tahun 2014 Tentang Desa
tersebut.