Siapa yang melakukan rekognisi terhadap desa?
Apa makna rekognisi? Apa yang direkognisi? Bagaimana melakukan rekognisi?
Sejumlah pertanyaan ini merupakan persoalan desain institusional rekognisi.
Memang teorisasi tentang desain institusional rekognisi tidak selengkap
teorisasi desentralisasi. Tindakan rekognisi bersifat kontekstual, dan juga
tergantung pada hasil negosiasi antara negara dengan pihak yang menuntut
rekognisi. Rekognisi yang mewarnai desentralisasi asimetris terhadap DKI
Jakarta, Aceh, Papua dan Yogyakarta sungguh berbeda, bersifat kontekstual dan
merupakan hasil negosiasi antara pusat dengan daerah. Otonomi khusus untuk
Papua dan Aceh, misalnya, disertai redistribusi ekonomi (dana otonomi khusus
dan dana bagi hasil SDA yang berbeda) sebagai bentuk jawaban atas ketidakadilan
ekonomi yang menimpa dua daerah tersebut.
Rekognisi terhadap desa yang dilembagakan
dalam UU Desa tentu bersifat kontekstual, konstitusional, dan merupakan hasil
dari negosiasi politik yang panjang antara pemerintah, DPR, DPD dan juga desa.
Sesuai amanat konstitusi negara (presiden, menteri, lembaga-lembaga negara,
tentara, polisi, kejaksaan, perbankan, dan lembaga-lambaga lain), swasta atau
pelaku ekonomi, maupun pihak ketiga (LSM, perguruan tinggi, lembaga
internasional dan sebagainya) wajib melakukan pengakuan dan penghormatan
terhadap keberadaan (eksistensi) desa sebagai kesatuan masyarakat hukum.
Eksistensi desa dalam hal ini mencakup hak asal-usul (bawaan maupun prakarsa
lokal yang berkembang) wilayah, pemerintahan, peraturan maupun pranata lokal,
lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan masyarakat, prakarsa desa,
maupun kekayaan desa. Konsep mengakui dan menghormati berarti bukan campur
tangan (intervensi), memaksa dan mematikan institusi (tatanan, organisasi,
pranata, kearifan) yang sudah ada, melainkan bertindak memanfaatkan, mendukung
dan memperkuat institusi yang sudah ada. Ada beberapa contoh tindakan yang
bertentangan dengan asas pengakuan dan penghormatan (rekognisi) seperti: pemerintah
mengganti nagari atau sebutan lain dengan sebutan desa; pemerintah maupun
swasta menjalankan proyek pembangunan di desa tanpa berbicara atau tanpa
memperoleh persetujuan desa; pihak luar membentuk kelompok-kelompok masyarakat
desat anpa persetujuan desa; penggantian lembaga pengelola air desa menjadi P3A
kecuali subak di Bali; penggantian sistem dan kelembagaan keamanan lokal
menjadi polisi masyarakat, pejabat menuding desa melakukan subversi ketika desa
membentuk Sistem informasi Desa secara mandiri, dan lain-lain.
Rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati
terhadap keragaman desa, kedudukan, kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan
pemerintahan, namun UU Desa juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk
alokasi dana dari APBN maupun APBD. Di satu sisi rekognisi dimaksudkan untuk
mengakui dan menghormati identitas, adat-istiadat, serta pranata dan kearifan
lokal sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural. Di sisi lain
redistribusi uang negara kepada desa merupakan resolusi untuk menjawab
ketidakailan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan marginalisasi
yang dilakukan oleh negara. Bahkan UU Desa juga melakukan proteksi terhadap
desa, bukan hanya proteksi kultural, tetapi juga proteksi desa dari imposisi
dan mutilasi yang dilakukan oleh supradesa, politisi dan investor.
Penerapan asas rekognisi tersebut juga
disertai dengan asas subsidiaritas. Asas subsidiaritas berlawanan dengan asas
residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU No. 32/2004. Asas residualitas
yang mengikuti asas desentralisasi menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi
habis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan terakhir di tangan
pemerintah kabupaten/kota. Dengan asas desentralisasi dan residualitas itu,
desa ditempatkan dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima
pelimpahan sebagian (sisa-sisa) kewenangan dari bupati/walikota.
Prinsip subsidiaritas menegaskan bahwa dalam
semua bentuk koeksistensi manusia, tidak ada organisasi yang harus melakukan
dominasi dan menggantikan organisasi yang kecil dan lemah dalam menjalankan
fungsinya. Sebaliknya, tanggungjawab moral lembaga sosial yang lebih kuat dan
lebih besar adalah memberikan bantuan (dari bahasa Latin, subsidium afferre)
kepada organisasi yang lebih kecil dalam pemenuhan aspirasi secara mandiri yang
ditentukan pada level yang lebih kecil-bawah, ketimbang dipaksa dari atas
(Alessandro Colombo, 2012). Dengan kalimat lain, subsidiarity secara prinsipil
menegaskan tentang alokasi atau penggunaan kewenangan dalam tatanan politik,
yang notabene tidak mengenal kedaulatan tunggal di tangan pemerintah sentral.
Subsidiaritas terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering sebagai
bagian dari tawar-menawar (bargaining) antara komunitas/otoritas yang berdaulat
(mandiri) dengan otoritas lebih tinggi pusat. Prinsip subsidiarity juga hendak
mengurangi risiko-risiko bagi subunit pemerintahan atau komunitas bawah dari
pengaturan yang berlebihan (overruled) oleh otoritas sentral. Berangkat dari
ketakutan akan tirani, subsidiarity menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas
sentral (pemerintah lebih tinggi) dan sekaligus memberi ruang pada organisasi
di bawah untuk mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan secara mandiri
(Christopher Wolfe, 1995; David Bosnich, 1996; Andreas Føllesdal, 1999).
Dengan bahasa yang berbeda, saya memberikan
tiga makna subsidiaritas. Pertama, urusan lokal atau kepentingan masyarakat
setempat yang berskala lokal lebih baik ditangani oleh organisasi lokal, dalam
hal ini desa, yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan kalimat lain,
subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan
tentang kepentingan masyarakat setempat kepada desa.
Kedua, negara bukan menyerahkan kewenangan
seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala
desa menjadi kewenangan desa melalui undang-undang. Dalam penjelasan UU No.
6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan kewenangan lokal berskala desa
menjadi kewenangan desa. Penetapan itu berbeda dengan penyerahan, pelimpahan
atau pembagian yang lazim dikenal dalam asas desentralisasi maupun
dekonsentrasi. Sepadan dengan asas rekognisi yang menghormati dan mengakui
kewenangan asal-usul desa, penetapan ala subsidiaritas berarti UU secara
langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan
desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota.
Ketiga, pemerintah tidak melakukan campur
tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa, melainkan
melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap desa. Pemerintah mendorong,
memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan tindakan desa dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Tindakan ini sejalan dengan salah
satu tujuan penting UU No. 6/2014, yakni memperkuat desa sebagai subyek pembangunan,
yang mampu dan mandiri mengembangkan prakarsa dan aset desa untuk kesejahteraan
bersama.
Kombinasi antara asas rekognisi dan
subsidiaritas itu menghasilkan definisi desa dalam UU Desa yang berbeda dengan
definisi-definisi sebelumnya:
Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa, atau yang disebut dengan nama lain,
mempunyai karakteristik yang berlaku umum di seluruh Indonesia. Desa Adat atau
yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa
pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap organisasi dan
sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial
budaya. Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi pengaturan hidup
bersama atau kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara
turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat
Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial
budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak
asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di
tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang
secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk
atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan
Pasal 18 ayat (7), UU No. 6/2014 tentang Desa menempatkan Desa sebagai
organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing
community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Namun pengertian
itu menghadirkan debat antara perspektif-rezim pemerintahan dan pemerintahan
lokal yang mengacu pada Pasal 18 ayat (7) dengan perspektif-rezim desa dan
masyarakat berpemerintahan yang mengacu pada Pasal 18 B ayat (2).
Sesuai dengan UU No. 6/2014, Desa memiliki
empat domain dan kewenangan: pemerintahan desa, Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa. Inilah yang melahirkan
perspektif desa yang melihat bahwa desa adalah entitas atau kesatuan masyarakat
hukum yang menyelenggarakan pemerintahan (mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat). Secara historis, sebelum
lahir pemerintahan NKRI, desa sudah secara mandiri menjalakan pemerintahan
(mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat) seperti air, sawah,
irigasi, hutan, kebun, keamanan, ketenteraman, kekayaan desa, hubungan sosial
dan lain-lain.
Perspektif desa (yang melihat pemerintahan
dari sisi desa) tentu berbeda dengan perspektif pemerintahan (yang melihat desa
dari sisi pemerintahan), yakni melihat desa sebagai bagian dari pemerintahan,
atau melihat bahwa pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan
desa/kelurahan merupakan struktur hirarkhis dalam pemerintahan NKRI.
Pemerintahan bekerja di bawah kendali Presiden yang mengalir secara hirarkhies
dan top down dari atas sampai ke tingkat desa.
Menurut perspektif pemerintahan, desa
merupakan organisasi pemerintahan yang paling kecil, paling bawah, paling depan
dan paling dekat dengan masyarakat. Paling “kecil” berarti bahwa wilayah maupun
tugas-tugas pemerintahan yang diemban desa mampunyai cakupan atau ukuran
terkecil dibanding dengan organisasi pemerintahan kabupaten/kota, provinsi
maupun pusat. Paling “bawah” berarti desa menempati susunan atau lapisan
pemerintahan yang terbawah dalam tata pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Namun “bawah” bukan berarti desa merupakan bawahan
kabupaten/kota, atau kepala desa bukan bawahan bupati/walikota. Desa tidak
berkedudukan sebagai pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan
kabupaten/kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 200 UU No. 32/2004. Menurut
UU No. 6/2014, desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Hal ini sama
sebangun dengan keberadaan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
“Bawah” juga berarti bahwa desa merupakan
organisasi pemerintahan yang berhubungan secara langsung dan menyatu dengan
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehari-hari. Istilah “bawah”
itu juga mempunyai kesamaan dengan istilah “depan” dan “dekat”. Istilah “depan”
berarti bahwa desa berhubungan langsung dengan warga masyarakat baik dalam
bidang pemerintahan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan maupun
kemasyarakatan. Sebagian besar warga masyarakat Indonesia selalu datang kepada
pemerintah desa setiap akan memperoleh pelayanan maupun menyelesaikan berbagai
masalah sosial. Karena itu pemerintah dan perangkat desa, yang berbeda dengan
pemerintah dan perangkat daerah, harus siap bekerja melayani masyarakat selama
24 jam tanpa henti, tidak mengenal cuti dan liburan. Sedangkan istilah “dekat”
berarti bahwa secara administratif dan geografis, pemerintah desa dan warga
masyarakat mudah untuk saling menjangkau dan berhubungan. Secara sosial,
“dekat” berarti bahwa desa menyatu dengan denyut kehidupan sosial budaya
sehari-hari masyarakat setempat.
Dua perspektif itu saling bersinggungan dan
beririsan. Namun sesuai pertimbangan konstitusional, historis dan sosiologis,
porsi desa sebagai self governing community jauh lebih besar dan kuat daripada
porsi desa sebagai local self government. Ingat bahwa UU No. 6/2014 adalah
Undang-undang Desa, bukan Undang-undang tentang Pemerintahan Desa. Desa sebagai
self governing community sangat berbeda dengan pemerintahan formal,
pemerintahan umum maupun pemerintahan daerah dalam hal kewenangan, struktur dan
perangkat desa, serta tatakelola pemerintahan desa. Sesuai dengan asas
rekognisi dan subsidiaritas, desa memiliki kewenangan berdasarkan hak asal-usul
dan kewenangan lokal berskala desa, yang tentu sangat berbeda dengan kewenangan
pemerintah daerah. Dalam hal tatapemerintahan, desa memiliki musyawarah desa,
sebagai sebuah wadah kolektif antara pemerintah desa, Badan Permusyawaratan
Desa, lembaga kemasayarakatan, lembaga adat dan komponen-komponen masyarakat
luas, untuk menyakapati hal-hal strategis yang menyangkut hajat hidup desa.
Musyawarah desa juga merupakan bangunan demokrasi asosiatif, demokrasi
inklusif, demokrasi deliberatif dan demokrasi protektif. Sedangkan dari sisi
perangkat, desa ditangani oleh perangkat yang berasal dan berbasis masyarakat,
yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kalau desa dianggap sebagai pemerintahan
konvensional, maka seharusnya seluruh perangkat desa yang memakai seragam
Kemendagri – berstatus sebagai PNS. Demikian juga dengan pelaksanaan
pembangunan sampai Badan Usaha Milik Desa, yang tidak hanya berbasis pada
pemerintah desa, tetapi dikelola secara kolektif antara pemerintah desa dan
masyarakat desa. Semua ini memberikan gambaran bahwa karakter desa sebagai self
governing community jauh lebih besar dan kuat.