SEJAK UU Desa diterbitkan, muncul wacana
pengembangan badan usaha milik desa. Ide ini menjadi bagian penting dari bentuk
pemberdayaan ekonomi masyarakat di tingkat desa sejak dimasukkan dalam klausul
penting UU Desa.
Badan usaha milik desa (BUMDes) adalah
terobosan baru yang patut diapresiasi. Setidaknya ide ini bisa jadi bentuk baru
kepemilikan bisnis masyarakat dan mendorong proses pemerataan ekonomi sampai ke
desa-desa yang selama ini terabaikan. Namun, nasibnya jangan sampai seperti
badan usaha unit desa (BUUD) yang bermetamorfosa menjadi koperasi unit desa
(KUD) yang kini mati suri.
BUMDes ini mirip badan usaha milik negara
(BUMN) di tingkat pemerintah pusat atau badan usaha milik daerah (BUMD) di
tingkat pemerintahan daerah. Sebagaimana diatur dalam UU, BUMDes adalah badan
usaha yang dimiliki pemerintah dan masyarakat di tingkat desa atau kerja sama
antardesa yang mekanisme pembentukannya melalui musyawarah desa.
Sebelum ide BUMDes muncul, sebetulnya pada
1971 pernah ada BUUD. Ini dibentuk pertama kali sebagai proyek percontohan oleh
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terintegrasi dalam
program Bimbingan Masyarakat (Bimas), bekerja sama dengan Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada.
Tujuan
awal BUUD adalah untuk mendorong sektor pertanian di desa,
terutama dalam rangka mencapai target swasembada pangan, dengan
mengintegrasikan koperasi-koperasi pertanian yang sudah ada sebelumnya. Fungsi
BUUD untuk menyalurkan sarana produksi pertanian dan pemasaran serta pengolahan
hasil pertanian yang sebelumnya diusahakan pihak swasta dan Perusahaan Negara
(PN) Pertani.
Berangkat dari kegiatan proyek percontohan di
DIY ini kemudian dikembangkanlah proyek KUD yang kekuatannya lebih banyak
ditopang pemerintah.
BUUD kemudian diperjelas oleh pemerintah
dalam konsep KUD dengan Inpres No 4/1973, di mana KUD didudukkan sebagai
koperasi pertanian yang multifungsi. Meski demikian, dengan semakin menguatnya
politik birokrasi pemerintahan Orde Baru, dengan Inpres No 4/1984, KUD
memperoleh kedudukan tunggal di desa sebagai koperasi desa.
Proyek ini secara pragmatis memang telah
berhasil mencapai target program nasional swasembada pangan yang diraih pada
1980-an. Namun, karena konsepsinya semua serba atas-bawah dan lupa membangun
kelembagaan koperasi dengan benar, pada akhirnya pamor KUD turun sejak
reformasi dan dicabutnya Inpres No 4/1984.
Masa lalu KUD
KUD yang menjadi primadona pada masa Orde
Baru memang telah gagal sebagai kelembagaan. Penyebabnya: aspek otonomi
organisasi kurang diperhatikan.
Pemerintah lupa bahwa organisasi koperasi adalah organisasi otonom yang
difungsikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Ambisi besar untuk
meraih predikat swasembada pangan nasional telah menutup agenda anggota koperasi.
Manfaat dari koperasi kemudian hanya dirasakan oleh segelintir elite penguasa
dan pengurusnya.
Namun, diakui atau tidak, KUD setidaknya
telah memberikan bentuk layanan masyarakat petani secara jelas dibandingkan
dengan pada masa sekarang. Mereka masih mendapatkan kepastian tentang harga dan
persediaan pupuk serta masih dapat pinjaman melalui unit simpan pinjam yang
diselenggarakan KUD. Mereka masih mendapatkan bentuk-bentuk penyuluhan yang
dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian mereka.
Saat ini, pemerintah seperti absen untuk
melayani petani di desa. Bahkan, untuk mendapatkan pupuk pun banyak yang harus
mencarinya dari rumah polisi yang turut diberikan otoritas untuk mengawasi
penyaluran pupuk bersubsidi dengan harga yang jauh melambung di atas harga
seharusnya. Sementara untuk pendanaan, mereka harus menyerah kepada para
pengijon.
Banyak petani yang kemudian jatuh miskin dan
kehilangan motivasi. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari jumlah rata-rata
kepemilikan lahan petani yang rata-rata hanya tinggal 0,23 hektar per keluarga. Jumlah petani gurem
alias hanya buruh tani yang tak punya lahan juga tak sebanyak sekarang, yang
jumlahnya sampai 73 persen dari jumlah petani yang ada.
Masa depan BUMDes
Sejak UU Desa diterbitkan, setiap desa akan
mendapat dana alokasi yang cukup besar setiap tahun. Dengan simulasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 saja akan mengalir dana ke desa
rata-rata Rp 1 miliar. Sebagian tentu akan digunakan untuk pemberdayaan ekonomi
masyarakat desa yang jumlahnya 77.548 desa (BPS, 2010) melalui BUMDes.
Sebagian dana alokasi APBN tersebut, ditambah
skema model modal penyertaan dari pemerintah, dana bantuan sosial, hibah, dan
lain-lain, BUMDes akan memiliki sumber permodalan yang besar untuk pengembangan
usaha. Namun, agar tak mengulangi kesalahan masa lalu dari model BUUD/KUD, kita
mesti memberdayakan BUMDes ini dalam kerangka pemberdayaan sosial-ekonomi
masyarakat yang baik dengan mengedepankan partisipasi dan prakarsa masyarakat.
Mereka tidak boleh hanya jadi obyek program,
tetapi harus diperkuat kapasitasnya untuk turut mengawasi berjalannya usaha
dari BUMDes. Program pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang tidak
bernilai ekonomis perlu jadi prioritas. Sementara pendidikan dan pelatihan
serta penyuluhan yang bernilai ekonomis dapat dilakukan oleh internal manajemen
BUMDes sendiri.
Manfaat BUMDes harus dihitung dan
didistribusikan secara jelas. Agar terus berkelanjutan, perlu disusun dalam
pola bisnis perlindungan dana kembali (economic patrone refund) yang berbasis
partisipasi ekonomi masyarakat. Program ini dapat dijalankan seiring dengan
penggunaan basis teknologi informasi desa.
Struktur organisasi BUMDes yang menunjukkan
peranan kuat dari pemerintah desa harus dikurangi. Kita dapat belajar dari
kesalahan pola struktur organisasi KUD masa lalu yang kuat dipengaruhi
birokrasi, di mana camat atau kepala desa begitu kuat peranannya karena mereka
berada di dalam struktur organisasi. Peranan pemerintah harus ditempatkan
sebagai katalisator dan fasilitator agar proses persenyawaan bisnis dapat
berjalan secara natural, tidak dipaksakan.
Kita juga dapat belajar dari keberhasilan
model Koperasi Moshav, koperasi desa yang ada di Israel. Koperasi Moshav yang
keanggotaannya meliputi semua warga desa ini bisa dicontoh dalam mengintegrasikan pemerintahan desa yang
berfungsi sebagai layanan sosial-ekonomi dan pelayanan dalam bidang pelayanan
publik. Dengan begitu, pada suatu saat apa yang dikatakan Bung Hatta benar
adanya: bahwa apabila pemerintah desa telah beririsan dengan baik dan tanpa
jarak dengan koperasinya, makmurlah desa dan negara itu.