Lahirnya
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan
baru pada pembangunan di tingkat Desa.
UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan
adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan desa sebagai entitas
kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara
mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara
historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa
sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.
Pengakuan
Atas Desa
Pengakuan
atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa.
Rekognisi adalah
prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.
prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.
Pengakuan
atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang
dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas
merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan
bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan
kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas
residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana
kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih
memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas
pemerintahan sekaligus entitas kultural.
UU Desa
memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang
diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa
kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan
pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak
bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan
daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).
Pasal 4 UU
Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa.
Tujuan pokok dari “pengaturan desa” dalam UU Desa mencakup:
1.
Memberikan pengakuan dan penghormatan atas
Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI;
2. Memberikan kejelasan status dan kepastian
hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI;
3.
Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan
budaya masyarakat Desa;
4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional,
efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6.
Meningkatkan pelayanan publik bagi warga
masyarakat desa;
7.
Meningkatkan ketahanan sosial budaya
masyarakat Desa;
8.
Memajukan perekonomian desa dan mengatasi
kesenjangan pembangunan;
9.
Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.
Rekognisi
atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep
mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap
desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah
berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa
dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk
pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa.
Prinsip
Subsidiaritas memberikan ruang pada desa
untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan
lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh
desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks
desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa itu
sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas
kewenangan lokal berskala desa.
Nilai
Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa
UU Desa
memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun,
dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan
jenis-jenis pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat
di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa
dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh
pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah
dan masyarakat desa. UU Desa mewajibkan
pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa
(pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan “desa membangun” keduanya harus
terintegerasi dengan baik.
Informasi
dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat
desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal untuk
menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus
memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik
dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah
Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait
dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang
beririsan dengan desa lainnya.
Informasi
menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat
harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan
di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat
pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan
desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua
kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat
yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).
Sistem
Informasi Desa
Mengacu
pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan
dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal
berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan
skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga
bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi
prinsip UU Desa.
Pemerintah
Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa
dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini melekat pada
Kabupaten/Kota, bukan pada pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem
informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan
perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia.
Sistem informasi desa mengandaikan adanya bisnis proses yang jelas, tanpa
mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung
kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia
sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak
Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola
informasi dan data pembangunan di tingkat desa.
Sistem
informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan
informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan
dengan pembangunan kawasan perdesaan juga wajib disediakan oleh pemerintah di
tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau
informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Belajar
dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan
sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat
tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku
yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan
sistem informasi yang diatur oleh UU Desa.
Akses data
menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa
desa hanya sebagai “pengumpul data” atau petugas dari pemerintah pusat.
Implikasinya, desa tidak memiliki data
yang memadai karena sudah “disetorkan” kepada pemerintah pusat. Hal ini
berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil
desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai
dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali
jenis-jenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa
dan kewenangan lokal berskala desa.
Penerapan
Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke
tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal
berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa
perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks
terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kab/Kota.
Pada
konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar
platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi
dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah
memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface
(API). Standardisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang
desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan
lokal berskala desa.
Di lain
sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses
masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks
wilayah tertentu, justeru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa
dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak
dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat
partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan
bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem
informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.
Prinsip
Penerapan Sistem Informasi Desa
Penerapan
sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip
penting, antara lain:
1. Sistem Informasi desa adalah kewenangan dan
kewajiban pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota;
2. Data yang dikelola melalui sistem informasi
desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data);
3.
Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi,
melainkan sumber daya manusia.
4. Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh
menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang
relevan dengan kewenangan lokal berskala desa;
5.
Penerapan Sistem Informasi Desa harus
mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan
data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa;
6. Standardisasi Data dalam informasi desa tidak
boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang
relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa;
7. Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan
dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang
berbeda-beda di setiap lokasi.